Friday, February 26, 2016

DISPLAY CITRA DIGITAL PENGINDERAAN JAUH (BAB I : Hal 3)

Sejarah Perkembangan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
Teknologi penginderaan jauh telah dikenal sejak awal abad ke 19, dimulai dari pembuatan potret udara bentang alam (landscape) pertama tahun 1838, yang kemudian disusul dengan pembuatan potret udara hutan dari balon udara tahun 1887 dan dari pesawat udara tahun 1919 (Tabel 1.2.).  Era penginderaan jauh satelit dimulai sejak peluncuran  ERTS-1 (kemudian diberi nama Landsat-1) yang memuat sensor satelit MSS tahun 1972 dan space shuttle tahun 1980-an (Howard, 1991). 
Tabel  1.2. Perkembangan Penginderaan Jauh pada Bidang Kehutanan
Tahun
Perkembangan
1887
Pembuatan potret udara dari balon udara
1919
Pembuatan potret udara dari pesawat terbang
1924
Pembuatan potret udara hitam-putih hutan mangrove di delta Irrawaddy, Birma kemudian dilanjutkan dengan pemotretan hutan di Indonesia (Hindia Belanda) untuk kepentingan militer
1928
Pembuatan potret udara kehutanan di Zambia, Afrika
1938
Penginderaan Jauh Pesawat (Airborne Remote Sensing)
Pembuatan potret bentang alam (landscape) yang ke-pertama kali
1945
Setelah perang dunia II, potret udara digunakan untuk pemetaan planimetri dan topografi serta sebagai sarana survey hutan.
Di Amerika Utara mulai memperkenalkan kursus-kursus potret udara, penafsiran potret udara dan pemetaan tematik pada program S1 dan S2.
1950
Pertengahan tahun 1950 berdiri Sekolah Kehutanan, Universitas Minnesota, AS (School of Forestry, University of Minnesota, USA), mengadakan kursus satu semester tentang penafsiran potret udara




Tabel 1.2. (Lanjutan)
Tahun
Perkembangan
1960
Pembuatan potret udara berwarna, baik potret udara warna alamiah (natural color photography), maupun potret inframerah berwarna (colour infrared photography)

Diperkenalkannya teknologi radio detecting and ranging, disingkat radar seperti Side Looking Airborne Radar (SLAR) dan Multispectral Scanner (MSS) pesawat untuk kepentingan sipil.  Sebelumnya radar digunakan untuk kepentingan perang. Kedua-duanya menggunakan sistem elektro-optik (electro-optical system) yang mencakup sensor termal dan SLAR.  MSS digunakan untuk kepentingan pengendalian kebakaran hutan.
1968
Keberhasilan penggunaan SLAR untuk kepentingan perekaman hutan tropika yang penuh penutupan awan di Panama
1972
Penginderaan Jauh Satelit  (Satellite Remote Sensing)
Penginderaan jauh satelit secara efektif dimulai sejak peluncuran Earth Resources Technological Satellite (ERTS-1) yang kemudian setelah tahun 1974 dikenal dengan Landsat.
Sukses peluncuran Landsat ini kemudian diikuti dengan peluncuran satelit generasi kedua Landsat TM (AS), SPOT (Perancis), European Meteosat, Japanese Himawari (1977) dan INSAT (India).
1975
Landsat-2 (MSS, AS)

Soyuz/Salyut (film dikirim ke bumi, Uni Sovyet)
1978
Landsat-3 (MSS, AS)
1980
SAR tersedia untuk komersial
1982
Landsat-4 (MSS dan TM, AS)
1984
Landsat-5 (MSS dan TM, AS)
1986
SPOT-1 (Perancis)
1989
SPOT-2 (Perancis)
1991
ERS-1 (radar, Konsorsium negara-negara Eropa)
1991
MOS-1 (Jepang), mirip dengan Landsat MSS
1995
(28 Desember) IRS_1C
1997
(29 September) IRS-1D (23 m), & PAN (5,8 m) menggunakan LISS sensor & 188 m WiFS (wide-field multispec. Imagery, 6 bit - 7 bit)
1999
(24 September) IKONOS (VIS & NIR) 4m & 1m - 11 bit
1999
(14 Oktober), CBERS-1 (China_Brazil Earth Resources Satellites, 3 sensors (a) WFI: res 260 m (4 band), (b) IR-MSS 80 m & (c) CCD - 20 m
2000
(1 September) CBERS-2, res: 3m
2001  
QUICKBIRDS
Berdasarkan perkembangan teknologi platform dan sensor, penginderaan jauh dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok sbb:
1)    Penginderaan Jauh Pesawat (airborne remote sensing, ARS).  Kelompok ini mencakup potret udara, airborne multispectral scanner (airborne MSS) dan side-looking airborne radar (SLAR).
2)    Penginderaan Jauh Satelit (satellite remote sensing, SRS), yang diantaranya meliputi MSS, TM, SPOT, MESSR, JERS-1, ERS-1, RADARSAT, IRS dan sebagainya.
Pada ARS pengambilan dilakukan dari udara (inner space) dengan menggunakan pesawat udara sebagai platform-nya sementara SRS dilakukan dari luar angkasa menggunakan satelit sebagai platform-nya.  Pada bidang kehutanan, potret udara adalah sarana penginderaan jauh pesawat  yang sudah umum digunakan.  Potret udara banyak digunakan secara langsung sebagai pengganti peta planimetri dan topografi dengan dilandasi oleh pengetahuan tentang elemen-elemen fotogrametri. Analisis potret udara ini dapat memberikan informasi tentang penutupan hutan, tipe hutan, kondisi hutan, parameter pohon dan tegakan (estimasi volume), bentuk lahan (landform), potensi lahan dan penggunaannya.  Dengan mencari korelasi antara parameter lapangan dan potret udara, estimasi volume ataupun biomasa dapat dilakukan.  Dua metoda airborne yang penting selain potret udara adalah electro-optical sensing (seperti airborne multispectral scanner, airborne MSS) dan RADAR. Airborne multispectral scanner digunakan terbatas pada tujuan-tujuan khusus yang terkait dengan pendeteksian termal yang banyak digunakan untuk kegiatan pencegahan kebakaran.  Untuk tujuan-tujuan penelitian simulasi airborne MSS banyak digunakan sebelum peluncuran Landsat TM dan SPOT.  Side-looking airborne radar (SLAR) sampai saat ini sebatas untuk tujuan survey-survey reconnaissance dan pemetaan pada daerah-daerah yang tertutup awan (yang tidak dapat dipetakan menggunakan panjang gelombang optik).
Tidak sama dengan ARS di atas, aplikasi SRS pada bidang kehutanan berkembang sangat cepat, khususnya yang terkait dengan survey multi-waktu dan multi-tingkatIni kemungkinan sangat terkait dengan format digital dari data satelit yang ada sehingga dapat dengan mudah dianalisa secara kuantitatif pada komputer. Secara efektif, SRS di kehutanan dimulai sejak diluncurkannya ERTS-1 (Earth Resources Technological Satellite, US) pada tahun 1972 yang kemudian dikenal dengan Landsat-1.  Dari satelit generasi kedua, seperti Landsat TM dan SPOT yang mempunyai resolusi spektral, spasial dan temporal yang tinggi, mampu membuat peta skala 1:50.000 dan merevisi peta-peta skala 1:25.000.  Banyak penelitian menunjukkan bahwa resolusi spasial yang tinggi (TM 30 x 30 m, SPOT multispektral 20 x 20 m) yang dikombinasikan dengan kemampuan masing-masing bandnya dapat meningkatkan ketelitian. Generasi baru JERS-1 OPS (sensor optik) yang mempunyai rentang panjang gelombang hampir sama dengan Landsat TM dan resolusi spasial 18 x 24,5 m juga merupakan sumber data yang sangat potensial. Keterbatasan pengadaan potret udara yang sangat lambat, memacu penggunaan data gabungan antara data satelit dengan data lapangan dan/atau potret udara yang telah ada.
Berdasarkan sifat sumber energi elektromagnetik yang digunakan,  penginderaan jauh dibedakan atas:
1) Penginderaan Jauh Pasif (Passive Remote Sensing)
2) Penginderaan Jauh Aktif (Active Remote Sensing)
Penginderaan jauh pasif
Penginderaan jauh pasif didefinisikan sebagai suatu sistem yang menggunakan sumber energi yang telah ada (reflektansi energi matahari dan/atau radiasi dari obyek secara langsung).  Beberapa sensor yang menggunakan sistem ini adalah: MSS, TM, SPOT, NOAA AVHRR, MOS-1 MESSR, IRS, JERS-1 OPS dan potret udara.
Penginderaan jauh aktif
Penginderaan jauh aktif didefinisikan sebagai suatu sistem yang menggunakan sumber energi buatan (microwave).  Beberapa sensor yang menggunakan sistem ini adalah  RADAR (radio detecting and ranging, seperti RADARSAT, ERS-1, JERS-1, ALOS PALSAR dsb).

Penginderaan jauh bisa dilakukan karena adanya variasi sebagai berikut:
a) Variasi spektral (spectral variation)
Variasi reflektansi spektral yang terdapat pada spektrum biru, hijau, merah, inframerah dekat, sedang dan termal serta gelombang mikro (microwave) memungkinkan suatu obyek dengan mudah dikenali karena pada umumnya suatu obyek mempunyai reflektansi spektral yang berbeda-beda.
b) Variasi spasial (spatial variation)
Variasi ukuran dan bentuk suatu obyek di lapangan seperti  blok, lingkaran, garis, titik, dll. yang memungkinkan tampaknya obyek-obyek seperti kota, jalan, rel kereta api dan sebagainya.
c) Variasi waktu (temporal variation)
Frekuensi overpass dari satelit menyebabkan terjadinya perekaman suatu lokasi lebih dari satu kali dalam kurun interval waktu yang relatif pendek memungkinkan dilakukannya analisa multiwaktu, seperti perbedaan  waktu: penanaman (planting), pembungaan (flowering), pemanenan (harvesting), pembuatan jalan raya (highway construction), perluasan kawasan pemukiman (urban expansion), penurunan kualitas vegetasi (desertification) dan deforestasi menyebabkan kegiatan monitoring tentang perubahan vegetasi (cover change) bisa dilakukan.

Secara garis besar, aplikasi penginderaan jauh di bidang pengelolaan sumberdaya alam dikelompokkan sebagai berikut:
1) Pemetaan
Pada saat ini penginderaan jauh, khususnya airborne remote sensing dengan potret udara adalah sarana yang banyak digunakan untuk kegiatan pemetaan hutan, baik untuk membuat peta dasar maupun peta tematik. 
2) Inventarisasi hutan (multistage dan multiphase/double sampling)
Sejalan dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh satelit, kombinasi penggunaan potret udara dan data satelit di bidang kehutanan sudah berkembang pesat. Teknik inventarisasi ini dikenal dengan istilah sampling bertingkat (multi-stage sampling) yaitu dengan membuat klaster-klaster pewakil di setiap tingkat. Suatu teknik inventarisasi lain, dimana sejumlah kecil (m) dari n klaster yang diamati pada citra, diperiksa di lapangan disebut dengan double sampling/ multi-phase.
3) Manajemen hutan
Untuk tujuan manajemen hutan, potret udara dapat digunakan sebagai sarana yang membantu pelaksanaan kegiatan penataan hutan dan pembukaan wilayah hutan (PWH) untuk menentukan bagian-bagian hutan berdasarkan kondisi topografi wilayah. Untuk kegiatan monitoring skala regional dan global, data satelit adalah sarana yang sangat potensial misalnya untuk monitoring reforestasi, deforestasi, kebakaran hutan, laju perladangan berpindah dan sebagainya.
Rentang Spektral yang Digunakan pada Penginderaan Jauh
Rentang spektral yang umum digunakan dalam penginderaan jauh untuk mengindera atau merekam sumberdaya yang terdapat di permukaan bumi umumnya berkisar antara 0,4 mm dan 12 mm (mencakup sinar tampak dan inframerah), dan antara 30 mm dan 300 mm yang sering disebut dengan gelombang mikro (microwave) (Gambar 1.3)Untuk gelombang mikro ini, sering juga dinyatakan dalam frekuensi dimana panjang gelombang antara 30 mm dan 300 mm setara dengan frekuensi antara 1 GHz dan 10 GHz (catatan c = h . l, dimana kecepatan cahaya c=3 . 108 m/detik, h = frekuensi dan l = panjang gelombang).  Pada daerah sinar tampak dan inframerah dekat dan sedang, energi yang direfleksikan dan direkam oleh sensor sangat bergantung kepada sifat-sifat obyek yang bersangkutan, seperti pigmentasi, kadar air dan struktur sel, daun atau percabangan dari vegetasi, kandungan mineral dan kadar air tanah, dan tingkat sedimentasi pada air.  Pada daerah inframerah termal, kapasitas panas dan sifat-sifat termal dari permukaan maupun di bawah permukaan tanah yang mempengaruhi kekuatan radiasi yang dideteksi oleh sensor.
Bumi yang suhunya sekitar 300o K (27oC) mempunyai emisi yang maksimum pada kisaran panjang gelombang sekitar 10 - 12 mm.   Sensor yang mempunyai sensitivitas dalam kisaran tersebut akan dapat merekam panas yang dipancarkan oleh permukaan bumi, seperti TM band 6.  Thermal remote sensing sensitif terhadap kombinasi emisi dan temperatur dari obyek yang direkam.  Besarnya emisi sangat bergantung pada panjang gelombang. Penginderaan jauh yang menggunakan panjang gelombang antara 0,4 mm dan 12 mm umumnya disebut dengan optical remote sensing. Sementara penginderaan jauh yang dilakukan menggunakan gelombang mikro dikenal dengan microwave remote sensing.
Pada gelombang mikro, yang menggunakan sistem aktif berdasarkan teknologi radar, reflektansi dipengaruhi oleh tingkat kekasaran permukaan baik vegetasi maupun permukaan lahan lainnya dan sifat-sifat elektrisnya - yang dinyatakan dalam permitivitas, sangat dipengaruhi oleh kadar air, menentukan sekali besarnya signal yang direfleksikan (backscatter).  Pada microwave remote sensing ini, data diperoleh dengan cara mengukur atau merekam kekuatan energi backscatter yang dipantulkan kembali kepada satelit atau pesawat.  Permukaan yang halus (smooth) akan bertindak sebagai specular reflector (seperti mirip-cermin), karena arah backscatter akan dipantulkan menjauhi sensor sehingga obyek yang direkam akan tampak gelap.  Permukaan kasar akan bertindak sebagai permukaan difus (diffuse reflector), energi yang datang direfleksikan ke segala arah termasuk yang kembali ke sensor sehingga akan tampak cerah pada citra.





Pada corner reflector, respon obyeknya akan tampak cerah sekali.  Dalam kaitannya dengan interpretasi citra yang diperoleh dengan gelombang mikro ini perlu diperhatikan bahwa mekanisme refleksi sama dengan yang disajikan terdahulu.

Pada interpretasi sinar tampak ataupun inframerah yang menggunakan sinar matahari sebagai sumbernya, reflektansi yang terjadi hampir semuanya diffuse yang menyebabkan interpreter lebih dapat memusatkan pada variasi tone (derajat keabu-abuan).




Disini Halaman Sebelumnya | Halaman Lanjutan Klik disini


-----------------Semoga bermanfaat -----------------



0 comments:

Post a Comment