Sejarah Perkembangan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam
Teknologi penginderaan jauh
telah dikenal sejak awal abad ke 19, dimulai dari pembuatan potret udara
bentang alam (landscape) pertama
tahun 1838, yang kemudian disusul dengan pembuatan potret udara hutan dari
balon udara tahun 1887 dan dari pesawat udara tahun 1919 (Tabel 1.2.). Era penginderaan jauh satelit dimulai sejak
peluncuran ERTS-1 (kemudian diberi nama
Landsat-1) yang memuat sensor satelit MSS tahun 1972 dan space shuttle tahun 1980-an (Howard, 1991).
Tabel 1.2.
Perkembangan Penginderaan Jauh pada Bidang Kehutanan
Tahun
|
Perkembangan
|
1887
|
Pembuatan potret udara dari balon udara
|
1919
|
Pembuatan potret udara dari pesawat terbang
|
1924
|
Pembuatan potret udara hitam-putih hutan mangrove di delta
Irrawaddy, Birma kemudian dilanjutkan dengan pemotretan hutan di Indonesia
(Hindia Belanda) untuk kepentingan militer
|
1928
|
Pembuatan potret udara kehutanan di Zambia,
Afrika
|
1938
|
Penginderaan Jauh
Pesawat (Airborne Remote Sensing)
Pembuatan potret bentang alam (landscape)
yang ke-pertama kali
|
1945
|
Setelah perang dunia II, potret udara digunakan untuk pemetaan
planimetri dan topografi serta sebagai sarana survey hutan.
Di Amerika Utara mulai memperkenalkan kursus-kursus potret udara,
penafsiran potret udara dan pemetaan tematik pada program S1 dan S2.
|
1950
|
Pertengahan tahun 1950 berdiri Sekolah
Kehutanan, Universitas Minnesota, AS (School of Forestry, University of
Minnesota, USA), mengadakan kursus satu semester tentang penafsiran potret
udara
|
Tabel 1.2.
(Lanjutan)
Tahun
|
Perkembangan
|
1960
|
Pembuatan potret udara berwarna, baik potret udara warna alamiah (natural color photography), maupun
potret inframerah berwarna (colour
infrared photography)
|
Diperkenalkannya teknologi radio
detecting and ranging, disingkat radar seperti Side Looking Airborne Radar (SLAR) dan Multispectral Scanner (MSS) pesawat untuk kepentingan sipil. Sebelumnya radar digunakan untuk
kepentingan perang. Kedua-duanya menggunakan sistem elektro-optik (electro-optical system) yang mencakup
sensor termal dan SLAR. MSS digunakan
untuk kepentingan pengendalian kebakaran hutan.
|
|
1968
|
Keberhasilan penggunaan SLAR untuk kepentingan perekaman hutan
tropika yang penuh penutupan awan di Panama
|
1972
|
Penginderaan Jauh Satelit
(Satellite Remote Sensing)
Penginderaan jauh satelit secara efektif
dimulai sejak peluncuran Earth
Resources Technological Satellite (ERTS-1) yang kemudian setelah tahun
1974 dikenal dengan Landsat.
Sukses peluncuran Landsat ini kemudian diikuti
dengan peluncuran satelit generasi kedua Landsat TM (AS), SPOT (Perancis),
European Meteosat, Japanese Himawari (1977) dan INSAT (India).
|
1975
|
Landsat-2 (MSS, AS)
|
Soyuz/Salyut (film dikirim ke bumi, Uni Sovyet)
|
|
1978
|
Landsat-3 (MSS, AS)
|
1980
|
SAR tersedia untuk komersial
|
1982
|
Landsat-4 (MSS dan TM, AS)
|
1984
|
Landsat-5 (MSS dan TM, AS)
|
1986
|
SPOT-1 (Perancis)
|
1989
|
SPOT-2 (Perancis)
|
1991
|
ERS-1 (radar, Konsorsium negara-negara Eropa)
|
1991
|
MOS-1 (Jepang), mirip dengan Landsat MSS
|
1995
|
(28 Desember) IRS_1C
|
1997
|
(29 September) IRS-1D (23 m), & PAN
(5,8 m) menggunakan LISS sensor & 188 m WiFS (wide-field multispec.
Imagery, 6 bit - 7 bit)
|
1999
|
(24 September) IKONOS (VIS & NIR) 4m
& 1m - 11 bit
|
1999
|
(14 Oktober), CBERS-1 (China_Brazil Earth
Resources Satellites, 3 sensors (a) WFI: res 260 m (4 band), (b) IR-MSS 80 m
& (c) CCD - 20 m
|
2000
|
(1 September) CBERS-2, res: 3m
|
2001
|
QUICKBIRDS
|
Berdasarkan perkembangan teknologi platform
dan sensor, penginderaan jauh dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok sbb:
1) Penginderaan Jauh Pesawat (airborne remote sensing, ARS). Kelompok ini mencakup potret udara, airborne multispectral scanner (airborne
MSS) dan side-looking airborne radar
(SLAR).
2) Penginderaan Jauh Satelit (satellite remote sensing, SRS), yang
diantaranya meliputi MSS, TM, SPOT, MESSR, JERS-1, ERS-1, RADARSAT, IRS dan
sebagainya.
Pada ARS
pengambilan dilakukan dari udara (inner
space) dengan menggunakan pesawat udara sebagai platform-nya sementara SRS dilakukan dari luar angkasa menggunakan
satelit sebagai platform-nya. Pada bidang kehutanan, potret udara adalah
sarana penginderaan jauh pesawat yang
sudah umum digunakan. Potret udara
banyak digunakan secara langsung sebagai pengganti peta planimetri dan
topografi dengan dilandasi oleh pengetahuan tentang elemen-elemen fotogrametri.
Analisis potret udara ini dapat memberikan informasi tentang penutupan hutan,
tipe hutan, kondisi hutan, parameter pohon dan tegakan (estimasi volume),
bentuk lahan (landform), potensi
lahan dan penggunaannya. Dengan mencari korelasi antara parameter lapangan
dan potret udara, estimasi volume ataupun biomasa dapat dilakukan. Dua metoda airborne yang penting selain potret udara adalah electro-optical sensing (seperti airborne multispectral scanner, airborne MSS) dan RADAR. Airborne multispectral scanner digunakan
terbatas pada tujuan-tujuan khusus yang terkait dengan pendeteksian termal yang
banyak digunakan untuk kegiatan pencegahan kebakaran. Untuk tujuan-tujuan penelitian simulasi airborne MSS banyak digunakan sebelum
peluncuran Landsat TM dan SPOT. Side-looking airborne radar (SLAR)
sampai saat ini sebatas untuk tujuan survey-survey reconnaissance dan pemetaan pada daerah-daerah yang tertutup awan
(yang tidak dapat dipetakan menggunakan panjang gelombang optik).
Tidak sama dengan ARS di atas, aplikasi SRS pada bidang kehutanan
berkembang sangat cepat, khususnya yang terkait dengan survey multi-waktu dan
multi-tingkat. Ini
kemungkinan sangat terkait dengan format digital dari data satelit yang ada
sehingga dapat dengan mudah dianalisa secara kuantitatif pada komputer. Secara efektif,
SRS di kehutanan dimulai sejak diluncurkannya ERTS-1 (Earth Resources Technological Satellite, US) pada tahun 1972 yang
kemudian dikenal dengan Landsat-1. Dari
satelit generasi kedua, seperti Landsat TM dan SPOT yang mempunyai resolusi
spektral, spasial dan temporal yang tinggi, mampu membuat peta skala 1:50.000
dan merevisi peta-peta skala 1:25.000.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa resolusi spasial yang tinggi (TM 30
x 30 m, SPOT multispektral 20 x 20 m) yang dikombinasikan dengan kemampuan masing-masing
bandnya dapat meningkatkan ketelitian. Generasi baru JERS-1 OPS (sensor optik)
yang mempunyai rentang panjang gelombang hampir sama dengan Landsat TM dan
resolusi spasial 18 x 24,5 m juga merupakan sumber data yang sangat potensial.
Keterbatasan pengadaan potret udara yang sangat lambat, memacu penggunaan data
gabungan antara data satelit dengan data lapangan dan/atau potret udara yang
telah ada.
Berdasarkan sifat sumber energi elektromagnetik yang digunakan, penginderaan jauh dibedakan atas:
1) Penginderaan Jauh Pasif (Passive
Remote Sensing)
2) Penginderaan Jauh Aktif (Active
Remote Sensing)
Penginderaan jauh
pasif
Penginderaan jauh pasif didefinisikan sebagai suatu
sistem yang menggunakan sumber energi yang telah ada (reflektansi energi
matahari dan/atau radiasi dari obyek secara langsung). Beberapa sensor yang menggunakan sistem ini
adalah: MSS, TM, SPOT, NOAA AVHRR, MOS-1 MESSR, IRS, JERS-1 OPS dan potret
udara.
Penginderaan jauh
aktif
Penginderaan jauh aktif didefinisikan sebagai suatu
sistem yang menggunakan sumber energi buatan (microwave). Beberapa sensor
yang menggunakan sistem ini adalah RADAR
(radio detecting and ranging, seperti
RADARSAT, ERS-1, JERS-1, ALOS PALSAR dsb).
Penginderaan jauh bisa dilakukan karena adanya variasi sebagai
berikut:
a) Variasi spektral (spectral variation)
Variasi reflektansi spektral
yang terdapat pada spektrum biru, hijau, merah, inframerah dekat, sedang dan
termal serta gelombang mikro (microwave)
memungkinkan suatu obyek dengan mudah dikenali karena pada umumnya suatu obyek
mempunyai reflektansi spektral yang berbeda-beda.
b) Variasi spasial (spatial variation)
Variasi ukuran dan bentuk
suatu obyek di lapangan seperti blok,
lingkaran, garis, titik, dll. yang memungkinkan tampaknya obyek-obyek seperti
kota, jalan, rel kereta api dan sebagainya.
c) Variasi waktu (temporal variation)
Frekuensi overpass dari satelit menyebabkan
terjadinya perekaman suatu lokasi lebih dari satu kali dalam kurun interval
waktu yang relatif pendek memungkinkan dilakukannya analisa multiwaktu, seperti
perbedaan waktu: penanaman (planting), pembungaan (flowering), pemanenan (harvesting), pembuatan jalan raya (highway construction), perluasan
kawasan pemukiman (urban expansion),
penurunan kualitas vegetasi (desertification)
dan deforestasi menyebabkan kegiatan monitoring tentang perubahan vegetasi (cover change) bisa dilakukan.
Secara garis besar, aplikasi
penginderaan jauh di bidang pengelolaan sumberdaya alam dikelompokkan sebagai
berikut:
1) Pemetaan
Pada saat ini penginderaan
jauh, khususnya airborne remote sensing
dengan potret udara adalah sarana yang banyak digunakan untuk kegiatan pemetaan
hutan, baik untuk membuat peta dasar maupun peta tematik.
2) Inventarisasi
hutan (multistage dan multiphase/double sampling)
Sejalan dengan perkembangan
teknologi penginderaan jauh satelit, kombinasi penggunaan potret udara dan data
satelit di bidang kehutanan sudah berkembang pesat. Teknik inventarisasi ini
dikenal dengan istilah sampling bertingkat (multi-stage
sampling) yaitu dengan membuat klaster-klaster pewakil di setiap tingkat.
Suatu teknik inventarisasi lain, dimana sejumlah kecil (m) dari n klaster yang
diamati pada citra, diperiksa di lapangan disebut dengan double sampling/ multi-phase.
3) Manajemen hutan
Untuk tujuan manajemen
hutan, potret udara dapat digunakan sebagai sarana yang membantu pelaksanaan
kegiatan penataan hutan dan pembukaan wilayah hutan (PWH) untuk menentukan
bagian-bagian hutan berdasarkan kondisi topografi wilayah. Untuk kegiatan
monitoring skala regional dan global, data satelit adalah sarana yang sangat
potensial misalnya untuk monitoring reforestasi, deforestasi, kebakaran hutan,
laju perladangan berpindah dan sebagainya.
Rentang
Spektral yang Digunakan pada Penginderaan Jauh
Rentang spektral yang umum digunakan dalam penginderaan
jauh untuk mengindera atau merekam sumberdaya yang terdapat di permukaan bumi
umumnya berkisar antara 0,4 mm
dan 12 mm (mencakup sinar tampak dan inframerah), dan antara 30
mm dan 300 mm yang sering disebut dengan gelombang mikro (microwave) (Gambar 1.3). Untuk gelombang mikro ini, sering juga
dinyatakan dalam frekuensi dimana panjang gelombang antara 30 mm dan 300 mm setara
dengan frekuensi antara 1 GHz dan 10 GHz (catatan c = h . l, dimana kecepatan cahaya c=3 . 108 m/detik, h = frekuensi dan l = panjang gelombang). Pada daerah
sinar tampak dan inframerah dekat dan sedang, energi yang direfleksikan dan
direkam oleh sensor sangat bergantung kepada sifat-sifat obyek yang
bersangkutan, seperti pigmentasi, kadar air dan struktur sel, daun atau
percabangan dari vegetasi, kandungan mineral dan kadar air tanah, dan tingkat
sedimentasi pada air. Pada daerah
inframerah termal, kapasitas panas dan sifat-sifat termal dari permukaan maupun
di bawah permukaan tanah yang mempengaruhi kekuatan radiasi yang dideteksi oleh
sensor.
Bumi yang suhunya sekitar
300o K (27oC) mempunyai emisi yang maksimum pada kisaran
panjang gelombang sekitar 10 - 12 mm. Sensor yang mempunyai
sensitivitas dalam kisaran tersebut akan dapat merekam panas yang dipancarkan
oleh permukaan bumi, seperti TM band 6. Thermal remote sensing sensitif terhadap
kombinasi emisi dan temperatur dari obyek yang direkam. Besarnya emisi sangat bergantung pada panjang
gelombang. Penginderaan jauh yang menggunakan panjang gelombang antara 0,4 mm dan 12 mm umumnya disebut dengan optical remote sensing. Sementara penginderaan jauh yang dilakukan
menggunakan gelombang mikro dikenal dengan microwave
remote sensing.
Pada gelombang mikro, yang
menggunakan sistem aktif berdasarkan teknologi radar, reflektansi dipengaruhi
oleh tingkat kekasaran permukaan baik vegetasi maupun permukaan lahan lainnya
dan sifat-sifat elektrisnya - yang dinyatakan dalam permitivitas, sangat
dipengaruhi oleh kadar air, menentukan sekali besarnya signal yang direfleksikan (backscatter). Pada microwave
remote sensing ini, data diperoleh dengan cara mengukur atau merekam
kekuatan energi backscatter yang
dipantulkan kembali kepada satelit atau pesawat. Permukaan yang halus (smooth) akan bertindak sebagai
specular reflector (seperti mirip-cermin), karena arah backscatter akan dipantulkan menjauhi sensor sehingga obyek yang
direkam akan tampak gelap. Permukaan
kasar akan bertindak sebagai permukaan difus (diffuse reflector), energi yang datang direfleksikan ke segala arah
termasuk yang kembali ke sensor sehingga akan tampak cerah pada citra.
Pada corner
reflector, respon obyeknya akan tampak cerah sekali. Dalam kaitannya dengan interpretasi citra
yang diperoleh dengan gelombang mikro ini perlu diperhatikan bahwa mekanisme
refleksi sama dengan yang disajikan terdahulu.
Pada interpretasi sinar tampak
ataupun inframerah yang menggunakan sinar matahari sebagai sumbernya,
reflektansi yang terjadi hampir semuanya diffuse
yang menyebabkan interpreter lebih dapat memusatkan pada variasi tone (derajat keabu-abuan).
Disini Halaman Sebelumnya | Halaman Lanjutan Klik disini
-----------------Semoga bermanfaat -----------------
0 comments:
Post a Comment